SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Kamis, 31 Oktober 2013

Manfaat Membaca Buku


         Manfaat Membaca Buku - Membaca buku, koran, majalah atau dari media yang lain, akan melatih otak kita untuk memusatkan pikiran. Otak kita diajak untuk memperhatikan kata demi kata yang ada pada teks tersebut. Karena kalau kita kehilangan bebeapa kata saja, bisa jadi kita tidak akan bisa menangkap keseluruhan maksud dari kalimat yang ada. Kalimat-kalimat yang menarik akan merangsang saraf otak kita untuk bekerja dan mengamati hal menarik tersebut. Ada penelitian yang membuktikan bahwa membaca buku bisa mencegah kita dari penyakit pikun. Mungkin karena kita selalu diajak berpikir ketika kita membaca, sehingga otak kita bisa tetap aktif.
   
          Dr. Aidh bin Abdullah al-Qarni, dalam bukunya, “La Tahzan” mengungkapkan tentang banyaknya manfaat membaca, yaitu di antaranya sebagai berikut :
•    Membaca menghilangkan kecemasan dan kegundahan.
•    Ketika sibuk membaca, seseorang terhalang masuk ke dalam kebodohan.
•    Kebiasaan membaca membuat orang terlalu sibuk untuk bisa berhubungan dengan orang-orang malas dan tidak mau bekerja.
•    Dengan sering membaca, orang bisa mengembangkan keluwesan dan kefasihan dalam bertutur kata.
•    Membaca membantu mengembangkan pemikiran dan menjernihkan cara berpikir.
•    Membaca meningkatkan pengetahuan seseorang dan meningkatkan memori dan pemahaman.
•     Dengan membaca, orang mengambil manfaat dari pengalaman orang lain: kearifan orang bijaksana dan pemahaman para sarjana.
•    Dengan sering membaca, orang mengembangkan kemampuannya; baik untuk mendapat dan memproses ilmu pengetahuan maupun untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dan aplikasinya dalam hidup.
•    Membaca membantu seseorang untuk menyegarkan pemikirannya dari keruwetan dan menyelamatkan waktunya agar tidak sia-sia.
   
•    Dengan sering membaca, orang bisa menguasai banyak kata dan mempelajari berbagai tipe dan model kalimat; lebih lanjut lagi ia bisa meningkatkan kemampuannya untuk menyerap konsep dan untuk memahami apa yang tertulis “diantara baris demi baris” (memahami apa yang tersirat).
1.Model-model Membaca
1.    Model membaca  button up ( bawah atas )

          Teknik membaca dengan mengolah data informasi yang di dapat dengan memahami kalimat per kalimat. Jelasnya seorang pembaca dapat memahami informasi yang terdapat dalam teks dengan jalan memahami kalimat perkalimat.

2.    Model membaca top down ( atas bawah )

        Membaca dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah informasi yang ada dalam teks. Di sini pembaca tidak lagi membaca kalimat perkalimat, dengan pengetahuannya itu dapat meluncur denga terus,tanpa memperhatikan secara cermat kalimat-kalimat dalam teks. Karena pengetahuan sudah cukup. Ia cukup melihat bagian-bagian yang baru saja.
3.    Interactive (bolak-balik)

          Teknik membaca dengan menggabungkan dua elemen-elemen pada dua model sebelumnya. Asumsinya bahwa sebuah pola itu disintesiskan atas dasar informasi yang diberikan secara bersama dari berbagai sumber pengetahuan ( stanovich, 1980:38).

         Neil Anderson, mengakui bahwa interaktif  adalah model paling tepat untuk di terapkan karena model I ni merupakan gambaran yang paling baik mengenai apa yang terjadi ketika membaca. Karena itu, membaca sebenarnya adalah gabungan proses bawah-atas dan atas-bawah.


Senin, 28 Oktober 2013

RELASI MAKNA (Polosemi, Hiponimi, Ambiguiti, Redudansi, Homofon dan Homograf)

        Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas.
Yang akan di bahas kali ini adalah  relasi makna yang mencakup tentang polosemi, hiponimi, ambiguiti, redudansi, homofon, dan homograf.
1.    Polisemi
        Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
      Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.

2.    Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ homonim dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.      bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti ‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
2.      bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Misalnya, kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agrarian itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me-pada kata kukur (me+kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur).
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat: ”ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya” berhomonimi dengan –nya pada kalimat ”Mau belajar tetapi bukunya belum ada.” morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
2.     Homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’, antar kata semi yang berarti ’tunas’ dan kata semi yang berarti ’setengah’.
3.  Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’.
4.     Homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
3.    Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.

4.    Redudansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
5.    Homofon
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Misalnya kata bank dan bang, yang bunyinya persis sama, tetapi maknanya berbeda. Bank adalah lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan bang adalah bentuk singkat dari abang yang berarti ’kakak laki-laki’. Contoh lain adalah kata sanksi yang berhomofon dengan kata sangsi. Sanksi berarti ’akibat, konsekuensi’ seperti dalam kalimat Apa sanksinya kalau belum membayar uang SPP? Sedangkan kata sangsi yang berarti ’ragu’ seperti dalam kalimat Saya sangsi apakah dia akan dapat menyelesaikan pekerjaan itu.
6.    Homograf
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf), sedangkan lafalnya atau bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya kata teras yang dilafalkan (təras) dan berarti ’inti kayu’ dengan kata teras yang dilafalkan (teras) dan berarti ’lantai yang agak ketinggian di depan rumah’. Contoh lain kata sedan yang dilafalkan (sədan) dan berarti ’tangis kecil, isak’ dengan kata sedan yang dilafalkan (sedan) dan berarti ’sejenis mobil penumpang’. Kalau melihat kedua contoh di atas dapat dikatakan masalah kehomografian di dalam bahasa Indonesia adalah karena tidak diperbedakannya lambang untuk fonem /ə/ dan fonem /e/ di dalam sistem ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sekarang ini.

                                                Daftar Pustaka
Cahyono, Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

MAKALAH PERIODISASI SEJARAH SASTRA MENURUT PARA AHLI

KATA PENGANTAR

             Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
        Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas  berkah rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan .
Kami berharap  semoga Makalah yang berjudul “Periodisasi Sastra” dapat bermanfaat bagi para pembaca makalah ini dan dapat mengetahui dan memahami masa periodisasi sastra.
Makalah tentang periodisasi sastra kami susun untuk turut menambah buku bacaan perkuliahan mahasiswa jurusan bahasa dan sastra indonesia. Makalah ini khusus membicarakan tentang periodisasi sastra menurut Nugroho, HB Jassin, Buyung Saleh dan Ajip Rosidi.
       Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan, khususnya menyangkut masalah pembahasan periodisasi sastra yang kesemuanya itu disebabkan oleh minimnya pengetahuan kami, maka dari itu kami butuhkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
      Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan .
         Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh .
Kendari,  februari 2013
                                                                                                  


                                                                                                    Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
        Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra yang berda di Indonesia. Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang di buat di wilayah kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk pada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan bahasa Melayu (dimana Bahasa Indonesia adalah turunannya).
       Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain. Dalam periodisasi sastra Indonesia di bagi menjadi dua bagian besar, yaitu lisan dan tulisan.  Secara urutan waktu terbagi atas angkatan Pujangga Lama, angakatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950-1960-an, angkatan 1966-1970-an, angkatan 1980-1990-an, angkatan Reformasi, angkatan 2000-an.
      Adapun pembagian periodisasi sastra menurut para ahli yaitu Buyung Saleh, HB. Jassin, Nugroho Notosusanto, dan Ajip Rosidi.Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa dan sejarah sastra Inggris.
Dalam jangka waktu yang relatif panjang tercatat munculnya secara besar jumlah persoalan sastra yang erat kaitannya dengan perubahan zaman dan gejolak sosial politik yang secara teoritis dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna kehidupan sastra. Masalah itu biasanya terkait dengan teori periodisasi atau pembabakan waktu sejarah sastra.

1.2.     Rumusan Masalah
•    Bagaimanakah periodisasi sejarah sastra Indonesia dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam periodisasi sejarah sastra Indonesia?
•    Mengapa terjadi perbedaan penamaan periodisasi sastra antar tokoh?
1.3.     Tujuan Penulisan
•    Untuk mendiskripsikan periodisasi sejarah sastra dan untuk mengetahui tokoh-tokoh yang terlibat dalam periodisasi sejarah sastra Indonesia
•    Untuk mengetahui terjadinya perbedaan penamaan periodisasi sastra antar tokoh

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Periodisasi Sejarah Sastra 
        Di Indonesia dan Tokoh-Tokoh Yang  Terlibat di Dalamnya
    Periodisasi adalah pembagian kronologi perjalanan sastra atas masanya, biasanya berupa dekade- dekade.
        Secara umum periode perkembangan sastra Indonesia terbagi atas sastra Indonesia lama (klasik) adalah karya sastra yang berkembang sebelum ada pengaruh dari kebudayaan luar, khususnya kebudayaan barat. Sastra Indonesia lama diperkirakan lahir pada tahun 1500 sampai abad ke-19. Adapaun sastra Indonesia modern karya sastra yang berkembang setelah ada pengaruh kebudayaan Barat pada awal abad ke-20.
      Beberapa kritikus satra telah mencoba membagi periodisasi (pembabakan) sastra Indonesia, di antaranya:
1.    Perodisasi sastra menurut Buyung Saleh
Periodisasi sastra menurut Buyung Saleh adalah jangka yang panjang atau pendek dalam perkembangan sastra yang menunjukka ciri khas karya sastra. Periodisasi sastra Indonesia pada  mumnya terbagi menjadi:
1.    Kesusastraan Lama
Karya sastra pada kesusastraan lama masih berkisar pada cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut (lisan). Hasil karya sastranya berupa dongeng, mantra, dan hikayat. Cerita pada masa ini bersifat istana sentries (mengisahkan kehidupan raja-raja).
2.    Kesusastraan Peralihan
Kesusastraan peralihan dipelopori oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Karya masa peralihan telah meninggalkan kebiasaan lama yang bersifat istana sentries menjadi karya yang lebih realistis. Hasil karya sastra yang terkenal, yaitu Hikayat Abdullah.

3.    Kesusastraan Baru
•    Angkatan Balai Pustaka
        Angkatan Balai Pustaka berdiri pada tahun 1920 oleh penerbit Balai Pustaka. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Karya sastra dan penulis angkatan ini, yaitu Azab dan Sengsara karya Merari Seregar (1920), Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1920), dan Salah Asuhan karya Abdul Muis (1928).
•    Angkatan Pujangga Baru
        Pujangga Baru adalah sebuah nama majalah yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Sastra Pujangga Baru cenderung kearah nasionalis, tetapi termasuk juga sastra idealistik dan romantik. Karya sastra dan penulis angkatan ini, yaitu Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936), Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka (1938), dan Belenggu karya Armijn Pane (1940).
•    Angkatan 1945
          Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik – idealistik. Karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan ’45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ’45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Karya Sastra angkatan ini, yaitu puisi berjudul Kerikil Tajam karya Chairil Anwar (1949), Atheis karya Achdiat Karta Mihardja (1949), dan Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Menuju Roma karya Idrus (1948).
•    Angkatan 1966
         Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Menurut HB. Jassin karya sastra angkatan ini mempunyai konsepsi Pancasila, menggemakan protes sosial, politik, dan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta kesadaran akan moral dan agama. Karya sastra angkatan ini, yaitu puisi berjudul Malu Calzoum Bachri, dan Dukamu Abadi karya Sapardi Djoko Damono.

2.    Periodisasi sastra menurut H.B.Jassin, 1953 (via notosusanto,1963:199-200)
A.     Sastra Melayu Lama
       Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya. Pada masa itu sastrad ipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam di Indonesia.
      Ciri-ciri sastra melayu lama adalah masih menggunakan bahasa Melayu, cerita seputar istana sentris dan hal-hal tahayul, penggarang anonin, dan masih sangat terikat dengan aturan-aturan dan adat-istiadat daerah setempat.
Karya sastra yang muncul pada masa ini misalnya adalah Hikayat Hang Tuah, Hikayat Mahabarata, Hikayat Seribu Satu Malam, Cerita-cerita Panji, Tajussalatin, Bustanus Salatin.
B.     Sastra Indonesia Modern
Karya sastra Indonesia modern ini muncul pada awal abad ke-20. Dipelopori oleh gerakan nasionalis dari pejuang bangsa Indonesia. Sastra Indonesia modern ini dibagi lagi menjadi 4, yaitu:
•    Angkatan Balai Pustaka
Angkatan balai pustaka merupakan titik tolak kesusastraan di Indonesia. Dilatarbelakangi oleh munculnya penerbit Balai Pustaka pada tahun 1917 yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ciri-cirinya adalah:
1)    Menggunakan bahasa Indonesia tapi masih terpengaruh bahasa          Melayu.
2)    Cerita mengusung adat-istiadat dan kawin paksa
3)    Dipengaruhi tradisi lokal dan daerah setempat Seputar  romantisme
4)    Unsur nasionalisme belum jelas
5)    Bersifat didaktis (harus memberikan pendidikan budi pekerti)
6)    Pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda
7)    Bahasa percakapan dimasukkan di antara baca tulisan. Puisinya terdiri atas:
Syair dan pantun
      Angkatan balai pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat sehingga banyak karya sastra yang tidak diterbitkan bahkan ditarik dari pasar, seperti Salah Asuhan dan Belenggu. Contoh karya sastra pada zaman ini adalah Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Muda Teruna (M. Kasim), Salah Pilih (Nur St. Iskandar), Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
•    Angkatan Pujangga Baru (33)
       Munculnya angkatan pujangga baru dilatarbelakangi oleh majalah sastra Pujangga Baru (Juli 1933), selain itu juga sebagai reaksi dari ketatnya sensor di balai pustaka. Angkatan pujangga baru menginginkan nasionalisme lebih dikobarkan agar bisa menjadi penyemangat rakyat dalam perjuangan kemerdekaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.Ciri-ciri angkatan pujangga baru adalah:
a)    Masalah yang diangkat ialah kehidupan modern
b)    Nafas nasionalisme sudah jelas
c)    Bahasa yang digunakan adalah “kata-kata pujangga” atau kata-kata indah dan cenderung romantic
d)    Kesamaan dengan angkatan 20 tendesius, didaktis
e)    Angkatan ini telah bebas menentukan nasibnya sendiri
Tokoh-tokoh terkenal pada masa pujangga baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armyn Pane, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, J.E. Tatengkeng, Rustam Effendi, dan Hamka.

•    Angkatan ‘45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga dilatarbelakangi oleh munculnya respons terhadap Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik.
Ciri-ciri karya sastra angkatan ’45 adalah:
a)    Terbuka
b)    Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
c)    Corak isi lebih realis, naturalis
d)    Individualisme  sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan      kritis
Penghematan kata dalam karya
e)   Ekspresif
f)  Sinisme dan sarkasme
a.    Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Sastrawan yang terkenal pada masa ini adalah Chairil Anwar, Idrus, Achdiat Kartamihardja, dan Aoh Kartahadimaja. Karya sastra yang lahir pada angkatan ’45 seperti Deru Campur Debu, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Atheis, Zahra, dll.
•    Angkatan ‘66
Lahirnya Angkatan ’66 adalah aksi yang dilancarkan para pemuda dan seniman pada tahun 1966 yang memprotes kesewenang-wenangan penguasa, dan terbitnya majalah sastra Horison.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
a)    Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
b)    Bercorak membela keadilan
c)    Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
d)    Berontak
e)    Pembelaan terhadap Pancasila
f)    Protes sosial dan politik

Contoh karya sastra pada Angkatan ’66 adalah Pabrik, Telegram, Stasiun, Ziarah, Kering, dll.
Banyak peranan periodisasi sastra di Indonesia, seperti sebagai tolakan berkembangnya sastra di Indonesia. Sastra di zaman perjuangan juga digunakan sebagai media pembangkit nasionalisme dan pengobar semangat.

3.    Periodisasi sastra menurut Nugroho Notosusanto
      Nugroho Notosusanto tidak memberikan ciri-ciri intrinsik karya sastra Indonesia yang ada dalam tiap-tiap periode, ia rupanya mengikuti H.B. Jassin dan Boejoeng Saleh. Hanya mengenai angkatan 50 dikatakan olehnya (1963: 208) bahwa para sastrawan periode 50  jangkauan orientasinya meliputi seluruh dunia, tak hanya Belanda dan Eropa Barat. Penyair dan penulis cerkan berguru kepada sastrawan Indonesia sendiri, mereka berguru puisi pada Chairil Anwar dan Sitor Situmorang, pengarang prosa berguru kepada Pramoedya Ananta oer atau Idrus. Unsur-unsur persajakan dari bahasa-bahsa daerah semakin digali hingga makin kayalah bahasa Indonesia. Tradisi Indonesia menjadi titik tolak. Sifat nasional periode ’50 juga dicerminkan oleh tersebarnya pusat-pusat kegiatan ke seluruh wilayah tanah air.
1. Sastra Melayu Lama
2. Sastra Indonesia Modern
Sastra  indonesia  modern terbagi 3 ankatan
1.    Angkatan 20
2.    Angkatan 33atau punjaga baru
Karakteristik masing- masing angkatan : angkatan 20, prosesnya menggambarkan:
1.    Pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda
2.    Soal kawin paksa, pra maduan dan lain-lain
3.    Kebangsaan belu maju kedepan, masih kedaerahan
Kelainan dengan sastra melayu lama
1.    bahasa percakapan dimasukan diantrany a baca tulis
2.    ada terdapat analisis jiwa
3.    cerita beramain pada jaman sekarang
4.    kebangsawanan pikiran kontra kebangsawanan darah
5.    pandangan hidup baru kontra moral  lama puisinya sebagian besar  terdiri atas  syair dan pantun
6.    bersifat didaktis
Angkatan 33
1.    angkatan ini telah bebas menentuka nasibnya sediri
2.    persoalannya ialah: mengahadapi masyarakat kota dengan masal-masalah kota
3.    juga: bagaimana menggunakan kebebasan dan bagaimana  fungsi kebebasan tehadap masyarakat
4.    pentingnya adalah: persoalan kebangunan kebangsaan , jadi hasil karaya mereka bercorak kebangsaan
5.    dalam segala keragamannya yang menjadi pengikat mereka adalah cirri-ciri nasional
6.    kesamaan dengan angkatan 20 tendensius, didaksis

2.1. Masa Kebangkitan
2.1.1. Periode ‘20
2.1.2. Periode ‘33
2.1.3. Periode ’42
2.2. Masa Perkembangan
2.2.1. Periode ‘45
2.2.2. Periode ‘50
4.    Periodisasi  Sastra Ajip Rosidi  (1969:13)
I.    Masa  kelahiran  dan masa penjadian (kl. 1900-1945)
1.    Periode awal hingga 1933
2.    Periode 1933-1942
3.     Periode  1942-1945
II.    Masa perkembangannya (1945 hingga sekarang)
1.    Periode 1945-1953
2.    Periode 1953-1961
3.    Periode 1961 sampai sekarang (1969)
Ajip Rosidi juga tidak menguraikan ciri-ciri intrinsik karya sastra Indonesia yang ada dalam tiap-tiap periodenya.
     Perlu ditegaskan bahwa sesungguhnya periode-periode sastra ittu tidak tersusun mutlak seperti balok-balok batu yang dideretkan, yaitu periode satu digantikan dengan periode yang lain dengan batas tegas, melainkan periode-periode ini saling bertumpang-tindih. Sebelum sebuah periode atau angkatan lenyap sama sekali, sudah timbul benih-benih angkatan baru. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu  yang istimewa dan biasanya didukung oleh generasi sastra baru yang mulai menampakkan diri. Sebelum angakatan baru tersebut terintegrasi, maka angkatan lama masih mempunyai kekuatan, bahkan juga sesudah angkatan baru terintegrasi. Dengan demikian, angkatan lama dan angkatan yang baru lahir itu hidup berdampingan. Namun masing-masing menunjukkan ciri-ciri sastra yang berbeda !
Berdasarkan ketidakmutlakan itu, maka gambaran sesungguhnya periode-periode sejarah sastra Indonesia bertumpang tindih sebagai berikut:
1.    Periode Balai Pustaka: 1920-1940;
2.    Periode Pujangga Baru: 1930-1945;
3.    Periode Angkatan 45: 1940-1955;
4.    Periode Angkatan 1950-1970; dan
5.    Periode Angkatan 70: 1965-sekarang (1984)
    Dalam periodesasi itu kelihatan adanya tahun-tahun yang bulat. Hal ini untuk mempermudah pengingatandan pemahaman dalam studi (sastra). Lagi pula lahirnya, tersebarnya dan terintegrasinya suatu periode sastra atau angkatan sastra, pada umumnya kurang jelas batas-batas waktunya. Jadi, tahun-tahun bulat itu sebagai ancar-ancar timbulnya, tersebarnya, terintegrasinya dan lenyapnya suatu periode atau angkatan sastra
      Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu
Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain, misalnya pada angkatan ‘45
•    Terbuka
•    Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
•    Corak isi lebih realis, naturalis
•    Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
•    Penghematan kata dalam karya
•    Ekspresif
•    Sinisme dan sarkasme
•    Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
2.2.      Masalah Periodisasi Sastra
       Masalah periodisasi sastra memang merupakan masalah yang banyak menarik perhatian orang. Bukan hanya penelah sastra saja yang berbicara tentang itu, melainkan juga para sastrawan ikut melibatkan diri. Sebenarnya, masalah periodisasi itu tidak begitu penting bagi para sastrawan. Bahkan ada beberapa pengarang yang tidak mau dirinya dimasukkan kedalam salah satu angkatan karean mungkin dipandang akan membatasi dan mempersempit kebebasan daya kreatifitasnya
    Walaupun demikian  periodisasi sejarah sastra Indonesia moderen itu perlu  terutama bagi penelaah sastara dan bagi dunia pendidikan dan pengajaran
    Dengan periodisasi itu kita akan dapat dengan mudah mengetahui tahap-tahap perkembangan sastra Indonesia dengan corak dan aliran yang munkin ada pada tiap tahap perkembangan itu

1.    Periodisasi Buyung Saleh   
2.    Periodisasi H.B. Jassin
1.    Sebelum tahun 20-an
2.    Antara tahun 20-an hingga tahun ‘33
3.    Tahun 1933 hingga mei 1942
4.    Mei 1942 hingga sekarang    
I.  Sastra Melayu Lama
II. Sastra Indonesia Moderen
1.    Angkatan 20
2.    Angkatan 33 atau Punjangga Baru
3.    angkatan 45 mulai sejak 1942
4.    angkatan 66 mulai kira-kira tahun 1955

3. periodisasi Nugroho  
    Notosusanto    4.periodisasi Ajib  Rosidi
I.   Sastra melayu  lama
II. Sastra Indonesia moderen
     A. Masa kebangkitan
1.    periode ‘20
2.    periode ‘33
3.    periode ‘42
    B.  Masa perkembangan
1.    periode ‘45
2.    periode ‘50    I.  Sastra Nusantara Klasik
    (sastra dari berbagai bahasa  daerah 
    di nusantara)
II. Sastra Indonesia moderen
    A. Masa kelahiran (masa  
          kebangkitan)
1.    periode awal -1933
2.    periode 1933-1942
3.    periode 1942-1945
    B. Masa perkembangan
1.    periode 1945-1953
2.    periode 1953-1961
3.    periode 1961-sekrang

       Dari ikhtisar 4 macam periodisasi diatas, nyatalah bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodisasi yang satu dengan yang lain. Kesemuanya mulai perkembangannya sastara Indonesia moderen sejak tahu 20-an. Kesemuanya menempatakan tahun ’30, tahun ’45, dan tahun’66 sebagai tonggak-tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaanya hanya berkisar  pada masa dan istilah dan masalah peranan tahun 1942 dan tahu 1950 di dalam perkembangan sastra Indonesia

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa,
1.    tidak adanya kesamaan istilah yang diperguakan, istilah-istilah yang biasa dipakai misalnya angkatan, periode dan generasi
2.    Tidak adanya kesamaan pengertian terhadap istialah-istilah tersebut. Tentang apa yang disebut angkatan, banyak perbedan pendapat. Rumusan Pramudia Ananta Tur berbeda dengan rumusan Asrul Sani berbeda pula dengan rumusan Rahcmad Djoko Pradopo, Ajib Rosidi dan sebagainya
3.    tidak adanya kesamaan nama yang dipergunakan untuk menyebut suatu angkatan atau suatu periode. Ada yang memakai angka tahun, ada yang memakai tahun angka badan penerbit, nama majalah, nama buku, dan sebagainya
4.    tidak adanya kesamaan sistem yang dipergunakan. Ada yang menunjukan satu angkatan tahun misalnya angkatan 20 dan ada pula yang menunjukan jangka waktu dari dua angka tahun, misalnya periode tahun ’20 hingga tahun ’30.
B. Saran
Berdasarkan simpulan diatas, maka perlu disarankan hal-hal sebagai berikut:
1.    dalam rangka pembinaan dan pengembanga sejarah sastra perlu terus dikem   bangkan
2.    untuk lebih memperdalam pemahaman terhadap sejarah periodisasi sastra  perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Raehmat Djoko. 1984. “ Masalah Ankatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia”. Dewan Kesenian: Jakarta
Rosidi, Ajib. 1964.  “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir”. Bahtara: Jakarta
Sarwadi. 2004 “Sejarah Sastra Indonesia Moderen”. Gama Media: Yogyakarta
Udu, Sumiman. 2008. “Sejarah Sastra”. Kendari





Analisis Kesalahan Penulisa Berita yang Tidak Sesuai dengan Kaidah Bahasa Jurnalistik pada Berita di Koran Lokal yang Berjudul “Sopir Angkot Keluhkan Kenaikan Retribusi”




1.      Penempatan  tanda hubung (-)
Terdapat kesalahan penempatan tanda hubung didalam berita Koran lokal yang berjudul “Sopir Angkot Keluhkan Kenaikan Retribusi”. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari tanda hubung yang menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris dimana kata tersebut ditulis tidak sesuai dengan pedoman bahasa Indonesia dalam buku EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Adapun kesalahan-kesalahan  kata yang terdapat dalam berita tersebut yaitu,
*      Penulisan kata “memberatkan” pada akhir baris seharusnya ditulis sesuai dengan struktur kata “mem-be-rat-kan”.
*      Penulisan kata “sebelumnya” yang tidak sesuai dengan ejaan yang di sempurnakan.
*      Penulisan kata “biasanya” yang tidak sesuai dengan ejaan yang di sempurnakan.
*      Penulisan kata “sopir” yang tidak sesuai dengan struktur.
*      Penulisan kata “menyatakan” yang tidak sesuai dengan struktur.
*      Penulisan kata “Ekspres”.
*      Penulisan kata “komplain”.
2.      Penempatan tanda titik (.)
Terdapat kesalahan penempatan tanda titik (.) didalam berita Koran lokal yang berjudul “Sopir Angkot Keluhkan Kenaikan Retribusi”.
Kesalahan tersebut dapat dilihat dari tanda titik yang tidak dipakai dalam penulisan nama orang dan gelar akademik. Tanda titik harus ditempatkan diantara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga. Kesalahannya yaitu,

*      Penulisan nama dan gelar akademik
H Yunus Alif Toondu SH yang seharusnya ditulis 
H. Yunus Alif Toondu S.H
*       Kesalahan Penulisan tanda titik juga harus ditemptakan sesudah penulisan kata “Nomor” dalam penulisan surat atau pada pasal. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari penulisan
No 3 Tahun 2012 yang seharusnya ditulis
No. 3 Tahun 2012

Berita atau Peristiwa yang Memenuhi Kaidah Kejadian 5W 1H
Pembunuhan Berantai MeSlalui Jejaringan Facebook
KBRN, Bukittinggi : Jajaran Polres Bukittinggi terus melakukan pengembangan kasus terkait tewasnya dua orang remaja yakni Rusyda Nabila (16) dan Nefrida Yanti (23) ke Lokasi penguburan yang dilakukan tersangka Wisnu Wadewa terhadap korbannya Rusyda Nabila  di Nagari Pakan Sinayan Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam, hingga Kamis (2/5/2013) kemarin masih ramai didatangi oleh warga.
Tak hanya warga sekitar, tapi warga dari beberapa daerah di kawasan Bukittinggi, Agam dan Padangpanjang, datang berbondong-bondong ke lokasi kejadian perkara, hanya untuk melihat-lihat lokasi kejadian. Tak sedikit juga diantara mereka yang mencoba menggali informasi yang lebih banyak lagi tentang seputar kejadian tersebut, atau sekedar foto-foto.
Puluhan anggota kepolisian dari jajaran Polresta Bukittinggi dan warga Pakan Sinayan Agam berupaya melakukan pencarian barang bukti sandal korban yang dibuang tersangka di lokasi tak jauh dari kejadian.
Berdasarkan penuturan tersangka pada penyidik kepolisian, tersangka memang membuang sandal korban di kawasan semak-semak, sekitar 20 meter dari tempat dikuburnya korban. Namun dari hasil pencarian petugas sesuai keterangan tersangka, malah ditemukan tiga jenis sandal, dengan merk dan ukuran yang berbeda, yakni sepasang sandal warna hitam merk Yumeida bernomor 43, sepasang sandal merk Che warna putih biru bernomor 42, serta sandal merk Eiger warna hitam sebelah kiri bernomor 43.
Jika disimak penuturan orang tua korban Rusyda Nabila (16), sebelumnya yang menyatakan anaknya memakai sandal Eiger warna hitam, maka besar kemungkinan sandal yang ditemukan itu adalah milik korban. Namun sandal yang ditemukan itu hanya sandal sebelah kiri, sementara sebelah kanan belum ditemukan.
“Selain sandal, masih ada barang bukti lainnya yang masih dicari, seperti handphone korban yang dibuang tersangka, serta cangkul yang digunakan tersangka untuk menggali kubur korbannya. Kami lihat nantinya, jika barang bukti yang ada sekarang sudah cukup, maka nantinya tidak perlu mencari barang bukti lainnya,” terang Wakapolresta Bukittinggi Arief Budiman kepada RRI.
Pernyataan ini juga menjawab berbagai isu yang berkembang di masyarakat, yang menyatakan tersangka telah membunuh 7 korbannya. Bahkan di salah satu pemukiman mempercayai korban tersangka Wisnu berjumlah 15 orang. Meski itu hanya isu, namun Arief mengatakan, kepolisian masih terus melakukan pengembangan lebih mendalam lagi.
Untuk pengembangan kasus kata Arief Budiman kepada RRI Jumat (3/5/2013), untuk sementara tersangka baru mengakui telah membunuh dua orang, sehingga korban yang tewas dan terdata di kepolisian hanya dua orang itu.
Sementara itu terkait dengan jenazah yang ditemukan Rabu (1/5/2013) lalu di kawasan Lungguak Batu Jorong Koto Gadang Kabupaten Agam yang merupakan jenazah Nefrida Yanti (23), masih berada di Ruang Jenazah Rumah Sakit Achmad Mochtrar (RSAM) Bukittinggi.
“Sampel DNA itu telah dikirim ke Jakarta, dan jenazah baru bisa dibawa setelah hasil DNA itu keluar. Dari informasi Tim Forensik, paling cepat hasil tes DNA itu akan selesai dalam waktu tiga bulan. Kepada keluarga korban diharapkan bersabar,” Jelasnya
Seperti diberitakan sebelumnya, jajaran Polresta Bukittinggi membekuk Wisnu Wadewa sebagai tersangka pembunuhan itu pada Senin (29/4) sekitar pukul 16.00 WIB, serta menemukan jenazah Rusyda Nabila panggilan Bila (16)  pada malam harinya sekitar pukul 22.00 WIB.
Jajaran Polresta Bukittinggi kembali menemukan lagi satu jenazah korban pembunuhan oleh tersangka Wisnu sekitar pukul 11.30 WIB di kawasan Lungguak Batu Jorong Koto Gadang Kabupaten Agam pada Rabu (1/5) lalu. Dengan demikian, korban pembunuhan oleh tersangka Wisnu menjadi dua orang.
Untuk jenazah kedua yang ditemukan Rabu, korban ditemukan di semak belukar dalam kondisi telah menjadi rangka. Dugaan sementara, jenazah itu adalah jasad Nefrida Yanti (23), warga Kampung Caniago Tangah Jorong Balai Badak Nagari Batu Kambing Kecamatan Ampek Nagari Kabupaten Agam.
Arief Budiman menambahkan, dalam melakukan aksinya, tersangka menggunakan jejaring sosial Facebook. Untuk membujuk agar bisa bertemu korban yang berjenis kelamin perempuan, tersangka menggunakan nama palsu di Facebook dengan nama perempuan, yang didukung dengan foto perempuan. Tersangka juga selalu minta nomor hp korbannya lalu diajak ketemuan untuk dibunuh, lalu dirampas harta bendanya.
Kepada penyidik kepolisian, tersangka pembunuhan itu mengaku aksi tunggalnya itu dilakukan untuk merampas seluruh harta yang dipakai korbannya dengan cara apapun, termasuk dengan membunuhnya. Tersangka juga mengaku sangat membutuhkan uang banyak untuk biaya istrinya yang sedang hamil.
Tersangka dijerat pasal 340 jo 338 KUHP jo pasal 80 ayat 3 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tersangka juga bisa terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup, karena telah melakukan pembunuhan berencana.
Dari hasil penyelidikan petugas kepolisian bersama sejumlah operator seluler, diketahui ada empat orang lainnya yang telah berjanji untuk bertemu dengan tersangka. Diduga kuat empat orang itu menjadi target pembunuhan tersangka. Namun sebelum terjadi, rencana jahat itu telah digagalkan Polresta Bukittinggi.

Makalah Bahasa Jurnalistik

                                                                       BAB I
                                                              PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkembangan dunia jurnalistik saat ini khususnya di Indonesia telah mencapai ceorgasme, yaitu puncak dari dunia jurnalistik Indonesia adalah ketika terbukanya kran kebebasan pers yang sebelumnya dibelenggu oleh kerangkeng kekuasaan.
Namun, hal itu menjadi buah simalakama. Disatu sisi kebebasan tersebut bagaikan angin segar dalam padang pasir kekeringan, sehingga setiap orang kapanpun dan dimanapun bebas tanpa melalui saringan dapat mendirikan media dan mengelurakan pendapat dan aspirasi. Tapi disatu sisi kebebasana tersebut telah menghasilkan berbagai ekses dan akses negatife, Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan “miring” yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan “vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks.
Hal inilah yang menjadi latar belakang analisis dari makalah ini, sejauh mana sebuah media memiliki kualitas jurnalistik, bagaimana penggunaan dan pemakaian bahasa jurnalistik dalam menampilkan berita-berita, serta apakah sebuah media masih memegang ketentuan-ketentuan dan kode etik jurnalistik.dalam melaksanakan kegiatan persnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian bahasa jurnalistik (media massa) sama bagi para ahlinya ?
2. Karakteristik bahasa jurnalistik ?
3. Bagaimanakah penggunaan kata, kalimat dan alinea dalam bahasajurnalistik (media massa) ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).
Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia umum mempunyai dua corak yang nyata bedanya, yaitu bahasa tutur dan bahasa bergaya.
Bahasa tutur atau bahasa percakapan ialah bahasa yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam percakapan. Sifat-sifat khasnya, bersahaja, sederhana, dan singkat bentuknya.
Bahasa bergaya ialah bahasa yang digayakan, yang sengaja diperbesar daya gunanya. Segala sesuatunya disusun diatur, dan digunakan seefisien-efisiennya, supaya sanggup menyalurkan berita batin.
Jenis yang kedua (bahasa bergaya) bentuknya beragam:
1. ragam umum,
2. ragam khusus, terdiri dari
a. ragam ringkas yang meliputi ragam jurnalistik, ragam ilmiah, dan ragam jabatan
b. ragam sastra
Bahasa Baku
Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Bahasa ini digunakan dalam situasi resmi, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
Bahasa baku menjalankan empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penambah wibawa, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Aturan Bahasa Indonesia
Bahasa jurnalistik harus mengindahkan kaidah-kaidah tata bahasa. Ia harus mengikuti pokok aturan bahasa Indonesia.
Pokok aturan pertama: Yang penting atau yang dipentingkan ditaruh di depan, yang kurang penting atau keterangan di belakang. Dengan demikian kita menulis: “Buku ini bagus” bukan “Ini buku bagus”; “Malam nanti kita menonton”, bukan “Nanti malam kita menonton”.
Pokok aturan kedua: Kata benda Indonesia tidak memunyai bentuk jamak (plurak; jumlah lebih dari satu). Untuk menunjukkan jamak digunakan kata “banyak”, “beberapa”, “semua”, “segala”, “setengah”, dan sebagainya atau disebut jumlahnya. Penjamakan kata dapat juga dilakukan dengan mengulang kata sifat yang di bekangnya, misalnya “kota bersih-bersih”, “kuda bagus-bagus”. Terkadang dikatakan pula “kota-kota bersih”, “kuda-kuda bagus”.
Pokok aturan ketiga: Tidak ada benda untuk laki-laki atau perempuan dalam bentuk kata benda.
Ejaan
Bahasa jurnalistik harus memperhatikan ejaan yang benar. Kedengarannya mudah, tetapi dalam praktek bukan main banyak kesulitan. Wartawan semestinya memiliki Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan untuk dikonsultasi sewaktu diperlukan.
Pertumbuhan Kosa Kata
Kata-kata ialah alat para wartawan. Mereka tidak dapat bekerja jika tidak memiliki jumla kata yang cukup. Untuk itu harus diperoleh suatu penguasaan, baik kosa kata (vocabulary) dan ungkapan-ungkapan (phrase).
Wartawan atau lebih luas media massa memunyai peranan dalam menyiptakan kata-kata baru atau dalam pertumbuhan kosa kata. Banyak kata yang dipopulerkan melalui surat kabar seperti heboh, gengsi, anda, ganyang, ceria, sadis, dan sekian banyak kata baru yang muncul akhir-akhir ini.

PATOKAN MENULIS
Pada awalnya sudah dikatakan bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan netral. Dalam hubungan itu, Rosihan Anwar (2004) menyodorkan beberapa patokan dalam menggunakan bahasa jurnalistik Indonesia.
Gunakan kalimat-kalimat pendek. Prinsip inilah yang mengantarkan pengarang Amerika Ernest Hemingway memenangkan Hadiah Pulitzer dan Hadiah Nobel. Waktu muda Hemingway menjadi wartawan surat kabar Kansas City Star. Di situ, sambil bekerja, ia banyak belajar tentang prinsip-prinsip penulisan berita.
Gunakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang. Apa yang disampaikan kepada khalayak (audience) harus betul-betul dapat dimengerti orang. Jauhi kata-kata teknik ilmiah dan kata-kata bahasa asing. Kalau terpaksa, jelaskan terlebih dahulu arti kata-kata itu.
Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya. Khalayak media massa terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula. Bayangkan pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamat SMP agar tulisan kita mencapai khalayak yang aneka ragam itu. Rumus ini dikemukakan Injo Beng Goat, pemimpin redaksi harian Keng Po di Jakarta tahun 1950-an.
Gunakan bahasa tanpa kalimat majemuk. Dengan menggunakan kalimat majemuk, pengutaraan pikiran kita mudah terpeleset menjadi berbelit-belit dan bertele-tele. Wartawan sebaiknya menjauhkan diri dari kesukaan memakai kelimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi tidak terang (wolly).
Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif. Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut dari wartawan. Dibanding kalimat “Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan”, kalimat “Si Polan memukul si Amat babak belur” terasa lebih hidup bergaya. Kalimat pasif jarang digunakan, walaupun ada kalanya dia dapat menimbulkan kesan kuat.
Gunakan bahasa padat dan kuat. Hematlah dengan kata-kata. Kembang-kembang bahasa dan pengulangan makna yang sama seperti dalam sastra harus dihindarkan. Kalimat “Siapa nyana, siapa kira hati Bobby hancur luluh, runtuh berderai karena gadis jelita elok rupawan si manis Yatie” tidak akan dipakai dalam bahasa jurnalistik.
Gunakan bahasa positif, bukan bahasa negatif. Kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi menolak memberikan keterangan kepada Lampung Post” terasa lebih akurat dibandingkan dengan kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi tidak bersedia memberi keterangan kepada Lampung Post“.
    Rosihan Anwar : Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu : singkat, padat, sederhana, lancer, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.
S. Wojowasito : Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikiantuntutan bahwa bahasa jurnalistik harus baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
    JS Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar.
    Asep Syamsul M. Romli : Bahasa Jurnalistik/Language of mass communication. Bahasa yang biasa digunakan wartawan untuk menulis berita di media massa. Sifatnya : (1) komunikatif, yakni langsung menjamah materi atau ke pokok persoalan (straight to the point), tidak berbunga-bunga, dan tanpa basa-basi. Serta (2) spesifik, yakni jelas atau mudah dipahami orang banyak, hemat kata, menghindarkan penggunaan kata mubazir dan kata jenuh, menaati kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (Ejaan yang disempurnakan), dan kalimatnya singkat-singkat.
Kamus Besar Bahasa Indonesia(2005): Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga lainnya — ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra.
Dewabrata: Penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan.
B. Karakteristik Bahasa Jurnalistik
Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahsa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik majalah, majalah jurnalistik radio siaran, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik suart kabar, selain harus tunduk kepada kaidaja atau prinsip-prinsip umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khsusu dan spesifik. Hal ini yang memebdakan dirinya dari bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi, dan bahasa jurnalistik media on-line internet.
Adapun ciri utama dari bahasa jurnalistik yang secara umum berlaku untuk semua media berkala yaitu:
1. Sederhana.
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat hetrogen; baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalsitik
2. Singkat.
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroslan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi dan karakteristik pers.
3. Padat.
Padat dalam bahasa jurnalistik menurut Patmono SK, rekatur senior Sinar Harapan dalam bukunya Tehnik Jurnalistik (1996:45) berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis membuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Tetapi kalimat yang padat kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas.
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufisme atau pengahlusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga etrjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi.
5. Jelas.
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagi contoh, hitam adalah warna yang jelas, begitu juga dengan putih kecuali jika keduanya digabungkan maka akan menjadi abu-abu . perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas disini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah objek predikat keterangan (SPOK), dan jelas sasaran atau maksudnya.
6. Jernih.
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memilki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan keculai fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam perspektif orang-orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (psitive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita kan dapat melihat smua fenomena dan persoalan yang teradpat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih, dan dada lapang.
7. Menarik.
Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca. Memicu selera pembaca. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip menarik, benar dan baku.
8. Demokratis.
Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana dijumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama seklai tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan keraton.
9. Populis.
Populis berarti setiap kata, istiulah atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab ditelinga, di mata, dan di benak pikirna khalayak pembaca, pendengar, dan pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Kebalikan populis adalah elitis. Bahasa elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil oarang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis.
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat atau paragraf jurnalistik harusdapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahas jurnalisitk harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Disini berlaku hukum logika
11. Gramatikal.
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kaliamt apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahsa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan taat bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsan dan kelompok masyarakat. .
12. Mengindari kata tutur.
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memeprhatikan masalah stuktur dan tata bahasa.
13. Mengutamakan kalimat aktif.
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oelh kahalayak pembaca dari pada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik harus jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear dan strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas tingakt pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan membingungkan tingkat pemahaman.
14. Menghindari kata atau istilah teknis.
Karena ditujukan untuk umu, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari pengguanan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun, kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komuniats tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa, tidak boleh dibawa ke dalam relatias yang hetrogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Kalaupun tidak terhindarkan maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tana kurung.
Surat kabar lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan surat kabar itu:
(a) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas.
(b) Tidak memiliki editor bahasa.
(c) Tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan.
(d) Tidak memilki sikap profesional dalam mengelola penerbiatn pers yang berkualitas.
15. Menghindari kata atau istilah asing.
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti atau makan setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata. Asing, selian tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. Tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukan akat atau istilah pada berita yang kita tulis, kita diudarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri ditengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
16. Tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku.
Pers, sebagai guru bangsa dengan fungsinya sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku, bahasa pers harus baku, benar, dan baik.
Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata vulgar, kata-kata berisi sumpah serapah, kata-kata hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama, atau denagn rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.
C. Analisis Problematika Penggunaan Bahasa Jurnalistik
Analisis penggunaan bahasa jurnalistik (Contoh: Dari Berbagai Sumber)
1. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 7 Januari 2006.
Yang pertama, pada editorial Media Indonesia edisi 7 Januari 2006 adalah dari segi judul. Pertama, pada edisi 7 Januari Media Indonesia menulis seperti ini: Jangan Bunuh Penumpang (kami). Dari segi judul sedikit ekstrim, kata bunuh adalah kata yang terlalu ekstrem untuk ditulis pada sebuah media yang notebenenya besar dan berpegang pada fungsi utama pers yaitu sebagai edukasi, kata bunuh merupakan kata yang mempunyai makna kejam dan sadis. Pada judul tersebut yang ditujukan pada Jasa Penerbangan dan Pemerintah adalah provokasi seakan-akan kesalahan utama pada kecelakaan itu disebabkan oleh kedua pihak tersebut sehingga ”Media Indonesia” menulis Jangan Bunuh Penumpang (Kami).
Kedua, pada judul Jangan Bunuh Penumpang (Kami), ada tanda kurung siku pada kalimat Menurut Drs. AS Haris Sumadiria M.Si (Bahasa Jurnalisitik, 2006:237) fungsi utama tanda kurung siku adalah, (1) tanda kurung siku mengapit kata, huruf atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan dan kekurangan itu memang terdapat dalam naskah asli. (2) tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah dalam tanda kurung.
Jelas, tanda kurung siku pada judul ediotorial khususnya pada kalimat ”Kami” tidak masuk kriteria pemakaian tanda kurung siku. Kalaupun Media Indonesia menulis Jangan Bunuh Penumpang Kami, sungguh tidak mengurangi makna yang dimaksud dan justru lebih jelas apa yang dimaksud dan yang dituju oleh judul tersebut.
Ketiga, kalimat tidak pantas untuk ditulis yaitu kalimat Berengsek!. Kalimat yang terletak pada paragraf empat ini sedikit membuat penulistersentak, lengkap kalimatnya seperti ini. Disisi lain, transportasi udara yang mestinya segalanya paling prima juga setali tiga uang. Berengsek! Padahal, sektor penerbangan pertumbuhan penumpangnya mencengangkan.
Kalimat ”Berengsek” termasuk pada gaya bahasa pertentangan yaitu sarkasme. Sarkasme sendiri adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti (Poerwadarminta, 1976:875). Ciri utama bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92).
Dalam bahasa sehari-hari saja, kata Berengsek mempunyai makna negatif bahkan, dalam acara-acara televisi asing, kata Fuck yang berarti ˜Berengsek” sering disensor dengan bunyi..Teeeet. Ini menjadi sebuah ironi, Media Indonesia walaupun menggunakannya dalam bahasa tulis tapi makna yang dimaksud dan makan konotatifnya tidak sedikit pun bisa di kurangi yaitu kasar.
Dalam persfektif bahasa jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menujukan kaidah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara sikap dan perilaku sadis dan anarkis. Bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. (Drs. AS Haris Sumadiria, 2006: 161).
Bagaimanapun sekali lagi, media sebagai guru bangsa mempunyai tanggung jawab sosial moral terhadap muridnya untuk senantiasa memberikan sikap optimistis, walaupun telah disentuh diatas bahwa penggunaan bahasa sarkasem menujukan keadaan masyarakat yang sedang sakit, tetapi jika sebuah media tetap menggunakan bahasa sarkasme dan ironinya keadaan masyarakat sedang sakit, seperti mencari kesempatan dalam kesempitan dan bukannya menyeleseikan masalah bahkan airnya semkin keruh dan menciptakan masalah baru yaitu sikap pesimistis.
Dari keseluruhan dari mulai judul, dapat diambil pendapat bahwa judul sudah termasuk kriteria karakteristik bahasa jurnalistik yaitu sederhana, singkat, padat, lugas, jelas dan menarik. Sedangkan dari segi isi secara keseluruhan editorial media indonesia sudah mencakup pada kriteria karakteristik bahasa jurnalistik, bahasanya yang ringan dan mudah dimengerti juga pembahsannya tidak terlalu bertele-tele tapi to the point bahkan sekaligus sedikit ekstrim.
2. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 8 Januari 2006.
Seperti halnya analisis pada Editorial edisi 7 Januari 2006, pada editorial Media Indonesia edisi 8 Januari 2006 adalah dari segi judul yaitu Manis bagi Pejabat Racun untuk Rakyat. Pertama, Media Indonesia menulis judul pada Editorial edisi 8 Januari 2006 dengan: Manis bagi Pejabat Racun untuk Rakyat. Judul yang ditulis sungguh menarik, dan mempunyai nilai sastra yang cukup bagus terutama rima (bunyi akhir kalimat) yang sama, seperti kata penjabat mempunyai rima yang sama dengan rakyat yaitu atau. Ini menjadi daya tarik tersendiri, terutama menjadikan judul ini memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik yaitu menarik.
Dari segi judul telah membuat pembaca tertarik untuk membaca selanjutnya, sebab dalam perspektif bahasa jurnalistik judul sangat menentukan langkah selanjutnya pada pembaca. Jika judul itu menarik dan membuat pembaca tertarik biasanya pembaca seperti didorong untuk membaca isinya secara utuh. Berbeda dengan judul yang monoton bahkan kering, membuat pembaca hanya ”numpang lewat dan numpang lihat saja” dan beralih pada tulisan lain.
Selanjutnya dari segi isi tulisan editorial ini, seperti halnya tulisan pada editorial yang lain, sifatnya to the point atau langsung pada yang dituju, selain itu juga bahasa yang digunakan mudah dicerna dan dimengerti oleh semua kalangan. Jadi bisa dikatakan bahasa yang dipakai telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik; sederhana, singkat, padat, lugas, jelas dan menarik.
3. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 9 Januari 2006.
Dari segi judul Media Indonesia menulis pada Editorial 9 Januari 2006 Parpol Terlalu Banyak. Judul yang ditulis sungguh sederhana, singkat, padat dan lugas. Judul tersebut cukup mewakili isi tulisan secara garis besar yaitu tentang semakin maraknya paratai politik menjelang pemilu.
Namun ada kejanggalan dari segi sisi tulisan. Khususnya pada kalimat orde reformasi pada paragraf keempat, secara jelas isi tulisan seperti ini isinya: Karena kapok dengan otoritarianisme dan pengebirian aspirasi, era reformasi kembali menganut sistem mulitipartai. Dalam tulisan ini terdapat kejanggalan adalah kata reformasi tidak ditulis dengan diawali huruf besar, sebab ini berbeda dengan kata era Orde Baru pada paragraf ketiga, pada kata Orde Baru ditulis dengan dimulai huruf besar. Untuk lebih lengkap isi tulisannya seperti ini: Setelah Orde Baru tumbang, sistem tiga partai jebol. Politik Indonesia kembali menganut sistem multipartai sebagai reaksi atas keasadaran bahwa selama era Orde Baru terajdi penyumbatan aspirasinya
Menurut Drs. As Haris Sumadiria (Bahasa Jurnalistik, 2006:213) bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan. Dari tinjauan teori tadi jelas bahwa pada isi tulisan editorial tersebut pada kata era reformasi huruf reformasi harus diawali dengan huruf kapital sebab kata era reformasi termasuk pada bagian unsur negara, seperti halnya kata era Orde Baru yang diawali dengan huruf kapital. Maka kalimat itu seharusnya menjadi era Reformasi.
Selanjutnya, yang saya cermati pada paragraf ketiga belas, terdapat kalimat electoral threshold, lebih jelas susunan isi tulisannya yaitu: Jadi, kita sebaiknya mengarah ke sistem parti sederhana. Tidak didasarkan dekrit atau keppres, tetapi pada ketentuan mengenai electoral threshold. Dengan demikian jika ingin menyederhanakan partai, naikan saja electoral threshold dari sekarang 3% menjadi 4 % atau 5 % bahkan lebih.
Termasuk dari kriteria karakteristik bahasa jurnalistik adalah menghindarkan kata atau istilah asing, pada isi tulisan editorial tersebut kata electoral threshold adalah kata dan istilah asing dan penggunaan kata dan istilah asing tersebut dipandang kurang efektif sebab sedikit tidak dimengerti baik artinya atau maknanya.
Berita atau tulisan ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti atau makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata. Asing, selian tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. Tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukan akat atau istilah pada berita yang kita tulis, kita diudarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri ditengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
Solusinya adalah kalaupun terpaksa menulis kata atau isitilah asing maka kata tersebut hendaklah diberi sedikit penjelasan dengan menyisipkan arti atau makna pada tanda kurung, tujuannya agar pikiran pembaca sampai dengan apa yang dimaksud serta menjembatani pada tulisan selanjutnya. Sebab jika pada suatu kalimat terdapat sesuatu yang tidak dimengerti oleh pembaca bisa jadi hal ini akan mengganggu pada proses pemahaman kalimat dan tulisan berikutnya, alih-alih pembaca biasanya malas meneruskan bacaannya. Secara garis besar tulisan ediorial ini menarik dan telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik, selain hal-hal diatas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika disimpulkan ada sedikit perbedaan cara penyajian bahasa jurnalistik pada media cetak dan media indonesia. Namun tidak menutup mata sebenarnya ada beberapa point tentang cara penyajian bahasa jurnalistik pada media cetak dan media elektronik yang sama diantaranya gaya ringan bahasa sederhana, gunakan prinsip ekonomi kata, gunakan ungkapan lebih pendek dan gunakan kata sederhana.
Media massa merupakan suatu wadah bagi para jurnalis untuk menuangkan segala aspirasi dan informasi yang dapat diberikan para jurnalis kepada masyarakat. Jurnalis mengembangkan penggunaan bahasa Indonesia kedalam bahasa jurnalistik.
B. DaftarPustaka.
•Murnia, Dad. 2007. BeberapaKesalahanBahasaJurnalistikPada Media di Indonesia. Bandung: SinarHarapan
•Sumadiria, AS Haris. 2006 BahasaJurnalistikPanduanPraktispenulisdanJurnalis. Bandung: Simbiosa