Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas.
Yang akan di bahas kali ini adalah relasi makna yang mencakup tentang polosemi, hiponimi, ambiguiti, redudansi, homofon, dan homograf.
1. Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
2. Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ homonim dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1. bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti ‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
2. bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Misalnya, kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agrarian itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me-pada kata kukur (me+kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur).
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat: ”ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya” berhomonimi dengan –nya pada kalimat ”Mau belajar tetapi bukunya belum ada.” morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
2. Homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’, antar kata semi yang berarti ’tunas’ dan kata semi yang berarti ’setengah’.
3. Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’.
4. Homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
3. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.
Yang akan di bahas kali ini adalah relasi makna yang mencakup tentang polosemi, hiponimi, ambiguiti, redudansi, homofon, dan homograf.
1. Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
2. Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ homonim dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1. bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti ‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
2. bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Misalnya, kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agrarian itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me-pada kata kukur (me+kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur).
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat: ”ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya” berhomonimi dengan –nya pada kalimat ”Mau belajar tetapi bukunya belum ada.” morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
2. Homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’, antar kata semi yang berarti ’tunas’ dan kata semi yang berarti ’setengah’.
3. Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’.
4. Homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
3. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.
4. Redudansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
5. Homofon
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Misalnya kata bank dan bang, yang bunyinya persis sama, tetapi maknanya berbeda. Bank adalah lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan bang adalah bentuk singkat dari abang yang berarti ’kakak laki-laki’. Contoh lain adalah kata sanksi yang berhomofon dengan kata sangsi. Sanksi berarti ’akibat, konsekuensi’ seperti dalam kalimat Apa sanksinya kalau belum membayar uang SPP? Sedangkan kata sangsi yang berarti ’ragu’ seperti dalam kalimat Saya sangsi apakah dia akan dapat menyelesaikan pekerjaan itu.
6. Homograf
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf), sedangkan lafalnya atau bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya kata teras yang dilafalkan (təras) dan berarti ’inti kayu’ dengan kata teras yang dilafalkan (teras) dan berarti ’lantai yang agak ketinggian di depan rumah’. Contoh lain kata sedan yang dilafalkan (sədan) dan berarti ’tangis kecil, isak’ dengan kata sedan yang dilafalkan (sedan) dan berarti ’sejenis mobil penumpang’. Kalau melihat kedua contoh di atas dapat dikatakan masalah kehomografian di dalam bahasa Indonesia adalah karena tidak diperbedakannya lambang untuk fonem /ə/ dan fonem /e/ di dalam sistem ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sekarang ini.
Daftar Pustaka
Cahyono, Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar